Address
Jl. Unizar, Turida, Sandubaya, Mataram, Nusa Tenggara Bar. 83232
Phone

Masa Depan Pengadilan Medis Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Kesehatan Di Indonesia dan penandatanganan Kerjasama (PKS) Fakultas hukum Unizar dengan ikatan dokter indonesia wilayah kota Mataram


 

Sabtu 15 Oktober 2022
Kuliah umum Tema “Masa Depan Pengadilan Medis Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Kesehatan Di Indonesia” dan penandatanganan Kerjasama (PKS) Fakultas hukum Unizar dengan ikatan dokter indonesia wilayah kota Mataram terselenggara atas kerjasama fakultas hukum Unizar, Ikatan Dokter Indonesia wilayah NTB dan Pengadilan Tinggi Mataram yang di hadiri oleh bapak rektor UNIZAR bapak Dr.Ir.Muh. Ansyar.MP
Wakilrektor I bapak Dr.Drs. Sahar,SE.,MM
Wakil Rektor II ibu Siti Ruqayyah,S.Si.,M.Sc
Dekan fakultas hukum Unizar Bapak Dr.Ainuddin,SH.,MH dan civitas akademika fakultas hukum unizar, Dalam laporan ktua panitia bapak M.Ikhsan Kamil,SH.,MKn Memberikan pandangan terkait tema yg di angkat mengenai Hukum kesehatan Penyelesaian sengketa medis yang ditempuh oleh pasien seringkali melalui jalur hukum dari pada melalui organisasi profesi tenaga kesehatan. Proses panjang harus dilewati oleh dokter atau tenaga Kesehatan lainnya ketika dilaporkan ke polisi oleh pihak pasien yang selanjutnya melewati proses penyidikan hingga proses pengadilan. Hal ini cukup memberikan dampak yang sangat merugikan bagi tenaga medis, antara lain terkait dengan reputasi dan nama baik, risiko kehilangan pekerjaan, secara psikologis juga memberikan dampak yang cukup berat karena situasi dan prosedur di sidang pengadilan yang dianggap penuh tekanan.

Dalam sambutan dekan fakultas hukum Unizar bapak Dr.Ainuddin,SH ,MH Menjelaskan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 14 UU Praktek Kedokteran, menyatakan bahwa MKDKI merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menerima pengaduan serta memeriksa dan menentukan ada tidaknya kesalahan seorang dokter dalam melakukan tindakan medis dan menetapkan sanksi. Namun pada perkembangannya persoalan hukum yang berkembang terkait dengan praktek kedokteran menempatkan dokter atau tenaga Kesehatan lainnya pada posisi yang salah meskipun secara etika seorang dokter atau tenaga Kesehatan lainnya telah melakukan Tindakan sesuai dengan prosedur. Hal ini salah satunya disebabkan jika perkara hukum yang khusus berkaitan dengan Tindakan medis seorang dokter atau tenaga Kesehatan lainnya di periksa dan diadili oleh seseorang yang hanya berlatar belakang hukum saja maka akan melihat persoalan dari sisi normatif tanpa mempertimbangkan dari sisi prosedural Tindakan medis yang diambil tersebut.
Oleh karena itu muncul berbagai pemikiran mengenai perlunya pengadilan khusus atau kamar khusus baik bersifat tetap maupun adhoc untuk menyelesaikan sengketa bidang kesehatan, dimana hakim pengadilan khusus ini berasal dari unsur dokter atau tenaga Kesehatan lainnya. Kompetensi pengadilan atau kamar khusus bidang Kesehatan ini mengadili/menyelesaikan sengketa dibidang Kesehatan baik secara pidana maupun perdata yang diharapkan mampu memberikan keadilan kepada semua pihak terutama kepada tenaga medis. Sehingga menarik untuk di kaji lebih mendalam kemungkinan dibentuknya sebuah pengadilan medis yang khusus menangani perkara yang berkaitan dengan bidang Kesehatan, atau jika tidak dimungkinkan dibentuk sebuah pengadilan tersendiri maka dapat di buat sebuah kamar khusus Kesehatan di Pengadilan tingkat pertama di bawah Mahkamah Agung.

Dalam pemaparannya pemateri pertama dalam Perspektif Teoritis. Yang disampaikan oleh akademisi dibidang Kesehatan
Ketua ikatan Dokter Indonesia wilayah NTB bapak dr.Ahmad Fadhli Busthomi,M.Biomed.SPOG
Membahas bagaimana model penyelesaian sengketa medis yang selama ini berlaku dan bagaimana kemungkinan hadirnya pengadilan khusus medis.

Sengketa medik merupakan perselisihan yang timbul akibat hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya melakukan penyembuhan. Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut, superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis jelas terlihat, yaitu hanya ada kegiatan aktif dari pihak dokter sedangkan pasien bersifat pasif. Sikap pasif dari pasien tentunya didasari rasa kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk melakukan penyembuhan atau pengobatan.

Melihat dari sisi hubungan hukum antara dokter dengan pasien dapat terjadi karena dua hal, yakni hubungan karena kontrak (terapeutik) dan hubungan karena undang-undang (zaakwarneming). Dalam hubungan kontrak, dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien, sedangkan hubungan karena undang-undang muncul karena kewajiban yang dibebankan pada dokter.

Pada kontrak terapeutik, hubungan dimulai dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau laboratorium. Setelah itu dokter merencanakan suatu terapi yang dapat berupa memberikan resep obat, suntikan, tindakan operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat yang perlu diikuti oleh pasien untuk mencapai kesembuhan. Persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan setelah memperoleh informasi secara lengkap dari dokter merupakan prinsip informed consent. Biasanya pihak dokter maupun rumah sakit akan meminta persetujuan pasien ataupun keluarga pasien (bagi pasien di bawah umur atau tidak sadar) secara tertulis dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis.

Hubungan hukum yang terjadi karena undang-undang antara dokter dengan pasien didasari adanya kewajiban yang dibebankan pada profesi dokter. Dokter berkewajiban untuk melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Keadaan darurat ini mengesampingkan prinsip informed consent.

Penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien adalah jika timbul ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan. Ketidakpuasan ini dikarenakan adanya dugaan kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan tugasnya sehingga menyebabkan kerugian pada pihak pasien. Seringkali sebab terjadinya sengketa medik karena informasi medik yang kurang lengkap, terlambat disampaikan, atau bahkan salah memberikan informasi sehingga berimbas pada tindakan medis yang dilakukan.

Kerugian yang diderita pasien karena adanya kelalaian atau kesalahan dari dokter bisa disebut sebagai malpraktek medik.

Berdasarkan perangkat peraturan dan prosedur penyelesaian sengketa yang ada saat ini, sengketa medik dapat diselesaikan melalui jalur hukum maupun jalur etika. Dari jalur hukum, bisa melalui Hukum Perdata, Hukum Pidana, ataupun Hukum Perlindungan Konsumen.

Penyelesaian sengketa medik melalui Hukum Perdata dapat dilihat dari sisi adanya aspek perjanjian terapeutik. Lazimnya pasal yang digunakan adalah wanprestasi (ingkar janji) ataupun bisa dengan perbuatan melawan hukum. Dari jalur Hukum Pidana karena ada beberapa unsur delik baik yang diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sedangkan melalui Hukum Perlindungan Konsumen, terlepas dari polemik apakah hubungan dokter & pasien bisa disamakan dengan hubungan pelaku usaha & konsumen, penyelesaian sengketa dapat melalui Peradilan Umum atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Jika melalui jalur etika, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran telah mengamanatkan pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bertugas memeriksa dan memutuskan pengaduan atas kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi. Ada juga Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menengakkan etika profesi kedokteran.

dalam dunia kedokteran dikenal dengan adanya “risiko medis”, yaitu kemungkinan terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan oleh pasien maupun dokter dalam rangkaian proses tindakan medis baik dari risiko cidera, cacat, hingga kematian. Bahkan risiko medis juga dapat terjadi pada tempat fasilitas pengobatan, misalnya rumah sakit, klinik, apotek, dll. Selama dokter sudah menerapkan Standar Operasional Pelayanan (SOP) dengan benar, maka risiko medis yang terjadi tidak dapat disalahkan kepada dokter. Sebagai contoh seorang pasien yang memiliki kondisi kesehatan tertentu atau alergi tertentu, dimana sebelumnya tidak mengetahui kondisi tersebut sedangkan dokter juga sudah menerapkan SOP dengan menanyakan dan melakukan serangkaian tindakan medis pra-operasi tidak bisa disalahkan jika kemudian terjadi kondisi medis pasien mengalami syok anafilaktik atau reaksi alergi yang dapat menyebabkan shock dan kematian.

Para pihak yang bersengketa tentunya harus dapat membuktikan apakah dugaan kerugian yang dialami pasien disebabkan oleh tindakan malpraktek dokter atau memang menjadi risiko medis. Pembuktian ini dapat dikatakan cukup rumit dan tentunya membutuhkan kesaksian ahli yang berasal dari bidang kedokteran atau medis.Pada Peradilan Perdata, tampak kecenderungan para pihak untuk mengakhiri sengketanya melalui jalur perdamaian.

Pemateri kedua yang dipaparkan oleh Prof.Dr.H.M.Galang Asmara, SH.,M.Hum menjelaskan
Keinginan akan adanya Pengadilan Medis sebagai lembaga penyelesaian sengketa kesehatan di Indonesia sudah lama diwacanakan oleh berbagai kalangan baik oleh akademisi maupun praktisi, namun hingga saat ini pengadilan dimaksud belum terbentuk. Kalangan dokter sendiri melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mengusulkan pembentukan pengadilan medis jauh sebelum UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditetapkan. Waktu itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya menghendaki pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis. Untuk mewujudkan keinginan tersebut IDI bahkan telah menyusun dan mengusulkan pasal-pasal mengenai pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis untuk dimasukkan ke dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Namun ketika UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tersebut disahkan pasal-pasal yang diusulkan tidak muncul. Dengan kata lain usul pembentukan lembaga peradilan Medis tidak terkabulkan. Hingga saat ini pun keinginan tersebut belum dapat terwujud. Namun demikian ide dan keinginan akan adanya lembaga peradilan medis tersebut selalu ada bahkan terus berkembang hingga saat ini. Bahkan guru besar fakultas hukum ini sendiri beranggapan bahwa ide tersebut perlu diwujudkan bahkan pengadilan medis bukan hanya untuk tenaga medis semata namun juga untuk tenaga profesi kesehatan lainnya seperti Perawat dan Bidan. Sehingga nama dari pengadilan tersebut juga perlu disesuikan dengan ruang lingkup kompetensi lembaga peradilan tersebut.
Alasan perlunya peradilan medis tersebut antara lain adalah bahwa sistem penyelesaian sengketa medis saat ini belum memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Menurut UU Kesehatan, sistem penyelesaian sengketa medis saat ini adalah dengan mewajibkan upaya mediasi terlebih dahulu. Apabila upaya mediasi tidak berhasil, maka kemudian pengadilan berwenang untuk menyelesaikan sengketa medis.

Penyelesaian sengketa medik yang paling ideal antara dokter dan pasien dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sisi pasien, sisi dokter, dan sisi prosedur. Jika dari sisi pasien, tentu penyelesaian sengketa melalui jalur etika bukanlah pilihan yang memuaskan. Karena bukan saja materinya dibatasi hanya terkait etika profesi, tapi dari topik pembahasan yang bersifat tidak umum dan sulit dipahami orang awam. Selain itu, kemungkinan putusan yang diambil melalui jalur ini bersifat administratif yang umumnya tidak berhubungan langsung dengan pasien, sehingga bisa menimbulkan ketidakpuasan bagi pasien. Sedangkan jika diilihat dari sisi dokter, tentu jalur ini lebih baik. Karena Majelis Pemeriksa Disiplin pada MKDKI yang memeriksa dugaan pelanggaran berasal dari latar belakang kedokteran dan sarjana hukum, sehingga secara psikologis lebih mudah untuk beragumentasi. Putusan yang berupa skorsing dan penghentian sementara izin praktek masih membuka peluang bagi dokter untuk tetap menjalankan profesinya tanpa harus kehilangan nama baik karena proses sidang pemeriksaan disiplin dilakukan secara tertutup.

Jika melalui jalur Peradilan Umum, baik sisi pasien maupun sisi dokter bukanlah pilihan yang ideal, mengingat proses pemeriksaannya yang relatif lama, biaya perkara yang relatif tinggi, serta sulitnya pembuktian. Belum lagi sifat pemeriksaan perkara yang terbuka untuk umum akan berisiko merugikan nama baik kedua belah pihak.

Adapun alternatif penyelesaian sengketa melalui BPSK layak untuk dipertimbangkan karena keterlibatan para pihak secara langsung, memungkinkan untuk tercapainya win-win solution. Proses pemeriksaan BPSK dilakukan dengan asas persidangan cepat, sederhana, murah, dan bersifat tertutup. Sifat yang tertutup dapat menjaga kerahasiaan proses bagi dokter dalam rangka menjaga kredibilitasnya dan pasien dalm hal kerahasiaan riwayat kesehatan. Terakhir, sifat putusannya yang final and binding membuat kepastian hukum bagi para pihak terjamin dan mempercepat pelaksanaan putusan.

Pemateri ke tiga dari pengadilan tinggi Mataram yaitu Bapak Dr. Ketut Sudira,SH.,MH selaku Praktisi kekuasaan Kehakiman. Yang mengkaji apakah dimungkinkan dalam penegakan hukum Kesehatan dibentuk sebuah pengadilan khusus atau kamar khusus baik sifatnya tetap maupun adhoc di Indonesia,Proses sebuah penyelesaian sengketa medis yang ditempuh oleh pasien seringkali melalui jalur hukum dari pada melalui organisasi profesi tenaga
kesehatan. Proses panjang harus dilewati oleh dokter ketika dilaporkan ke polisi oleh pihak pasien yang selanjutnya melewati proses penyidikan hingga proses pengadilan. Hal ini cukup memberikan dampak yang sangat merugikan bagi tenaga medis, antara lain tercoreng reputasi nama baik, risiko kehilangan pekerjaan, depresi, dan lain sebagainya. Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, disebutkan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu diatur juga pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan profesinya memiliki hak mendapatkan perlindungan
hukum. Hak perlindungan yang dimaksud pada Pasal tersebut apabila tenaga medis ataupun tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya dalam upaya menolong pasien sesuai dengan standar operasional prosedur dan standar profesi
maka tenaga medis memiliki hak dilindungi yang telah diberikan oleh undang-undang. Kecuali secara bukti dan sah tenaga medis tersebut melakukan kelalaian
yang menyebabkan pasien mengalami kecacatan atau meninggal, maka tenaga
medis dapat di hukum sesuai dengan perundang-undangan. Pengadilan khusus dibentuk untuk mencari keadilan bagi yang
bersengketa, dan berharap sebuah keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan pada pengetahuan para penegak hukum pada sengketa yang diselesaikan. Salah satu dengan ditunjukkannya hakim ad hoc, adanya hakim ad hoc bertujuan memberikan keadilan para pihak yang bersengketa, sebab hakim ad hoc diangkat
karena memiliki kemampuan pengetahuan dan keahlian terhadap sengketa yang akan di putus. Hal ini sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Melihat dari sengketa medis yang terjadi antara pasien dengan tenaga medis yang jumlahnya terus meningkat. Para tenaga medis, mengharapkan
pemerintah dapat segera membentuk pengadilan khusus untuk menyelesaikan
sengketa medis. Wacana untuk dibentuknya pengadilan khusus dalam penyelesaian sengketa medis dari tenaga medis menjadi hal yang cukup menarik

Sehingga pada akhir acara fakultas hukum melakukan penandatangan kerjasama (PKS) antara Fakultas hukum universitas Islam Al-Azhar dengan Ikatan Dokter Indonesia wilayah Kota Mataram ditandatangani langsung oleh dekan Fakultas Hukum Unizar dalam hal ini di wakili oleh wakil dekan I Ibu Dr.Sri Karyati,SH ,MH Dan Ikatan Dokter Indonesia wilayah Kota Mataram oleh Bapak dr.Akhda Maulana,Sp.U


Penandatanganan perjanjian kerjasama ini dilakukan di Ruang Rapat Universitas Islam Al Azhar di saksikan wakil Dekan II ibu Sumarni,SH.,MH, wakil Dekan III ibu Haerani, SH.,MH dan segenap civitas fakultas hukum Unizar,
Dalam penandatangan tersebut disampaikan untuk selanjutnya perjanjian kerjasama ini ini dilatarbelakangi dengan keinginan memajukan Tri Darma Perguruan Tinggi yang berkaitan dengan pengajaran, pengabdian, penelitian serta pendampingan hukum

Bapak dr.Akhda Maulana,Sp.U selaku ketua ikatan dokter Indonesia wilayah kota Mataram menjelaskan dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter anggota IDI kota Mataram pasti mempunyai risiko atau mengalami masalah hukum. Untuk itu dengan adanya kerjasama ini, maka IDI kota mataram akan banyak berdiskusi terkait permasalahan dalam kaitannya dengan hukum kesehatan serta memberikan pendampingan kepada para dokter jika terdapat permasalahan hukum. Ketua LBH fakultas hukum Unizar bapak Khairul Aswadi, SH ,MH menjelaskan Selama ini Lembaga Bantuan Hukum fakultas Hukum unizar selain bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM juga sudah banyak bekerjasama dengan instansi bahkan bekerjasama dengan desa dan memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat yang tidak mampu secara gratis.